Walau sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2016, DPR dan Pemerintah kembali memunculkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal 263 ayat (1) draft RKUHP menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Berbagai reaksi penolakan pun muncul atas dimasukkannya kembali pasal penghinaan presiden ini, mulai dari dianggap berpotensi mencederai demokrasi, disalahgunakan sebagai alat represif, hingga disebut sebagai era pembungkaman jilid II.
Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris meminta Pemerintah dan DPR memikirkan kembali niat ‘menggolkan’ pasal penghinaan terhadap Presiden dalam RKHUP yang rencananya akan disahkan pada Februari 2018 ini. Menurutnya, sudah menjadi konsekuensi logis seorang Presiden di sebuah negara demokrasi untuk berlapang dada, berbesar hati, dan menebalkan telinganya, mendengar segala macam ekspresi rakyat terhadap kepemimpinannnya.
“Menjadi Presiden di negara demokrasi seperti Indonesia ini, berat karena telinganya harus tebal. Ini sudah jadi konsekuensi logis. Presiden di negara demokratis harus punya kelebihan di atas rata-rata rakyat biasa. Salah satunya tahan banting terhadap segala macam kritik bahkan hujatan. Kalau tidak kuat, jadi rakyat biasa saja, jangan jadi Presiden,” tukas Fahira, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (7/2).
Senator Jakarta ini mengungkapkan, jika pasal ini nanti benar-benar disahkan dalam RKHUP dapat dipastikan segala macam kritik keras terhadap Presiden bisa ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap kepala negara dan ini berbahaya bagi sebuah bangsa yang sedang menjadikan demokrasi sebagai jalan menuju tata kepemerintahan yang lebih baik.
Parameter penghinaan kepada Presiden, lanjut Fahira, akan sangat bias dan yang pastinya jika benar pasal penghinaan ini disahkan, parameternya akan mengikuti selera siapa saja yang menjadi penguasa di Indonesia. Jika ini terjadi, kriminalisasi akan membayangi setiap orang yang berani bersuara keras terhadap kinerja Presiden dan kabinetnya dan ini tentunya buruk bagi iklim demokrasi kita.
“Sepahit dan sekeras apapun kritik, selama ada kepentingan umum didalamnya harusnya dilindungi undang-undang. Namun, jika pasal penghinaan ini disahkan dalam RKHUP keadaannya bisa berubah. Belum lagi efek psikologisnya, karena rakyat pasti ketakutan berbicara kritis mengenai Presidennya,” ujar Fahira.
Menurut Fahira, perangkat hukum saat ini, salah satunya UU ITE dan KUHP terutama terkait fitnah dan pencemaran nama baik sudah sangat ketat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi sehingga Presiden bisa menggunakan perangkat hukum yang sudah ada jika merasa dirinya difitnah atau dicemarkan nama baiknya.
“Kalau merasa difitnah atau dicemarkan nama baiknya, sudah ada perangkat hukumnya. Jadi jangan menambah perangkat hukum baru lagi yang sebenarnya tidak ada urgensinya,” pungkas Fahira.
#PressRelease
[…] “Menjadi Presiden di negara demokrasi seperti Indonesia ini, berat karena telinganya harus tebal. Ini sudah jadi konsekuensi logis. Presiden di negara demokratis harus punya kelebihan di atas rata-rata rakyat biasa. Salah satunya tahan banting terhadap segala macam kritik bahkan hujatan. Kalau tidak kuat, jadi rakyat biasa saja, jangan jadi Presiden,” tukas Fahira, dalam rilisnya dilansir fahiraidris.id […]