Senator DPD RI Fahira Idris mengecam keras bullying (perundungan) yang terjadi pada siswi kelas 6 SD di pusat perbelanjaan Thamrin City, serta seorang mahasiswa berkebutuhan khusus di Universitas Gunadarma, Jakarta. Menurut Fahira, aksi bully ibarat lingkaran setan yang harus diputus rantainya.
“Aksi bullying ibarat lingkaran setan yang jika tidak kita putus akan terus berulang. Anak-anak SMP yang jadi pelaku bully sebenarnya juga korban dari sebuah kondisi lingkungan yang menganggap mem-bully adalah sesuatu yang biasa atau normal. Kita harus punya blueprint memutuskan lingkaran setan bullying ini,” ucap Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, dalam keterangan tertulis, Selasa, 18 Juli 2017.
Fahira mengungkapkan, aksi bullying verbal maupun fisik dalam lingkungan pendidikan yang melibatkan pelajar, bukan hanya menjadi persoalan serius di Indonesia, tetapi juga banyak negara lain di dunia.
“Banyak negara sudah berhasil menekan aksi bullying karena pemerintahnya memformulasikan cetak biru pendidikan anti-bullying yang berisi kerangka kerja terperinci sebagai dijadikan landasan kebijakan, sasaran, strategi hinggi kepada detail kegiatan serta teknis pelaksanaan di mana sekolah menjadi yang terdepan mengimplementasikannya. Persoalan aksi bully oleh pelajar sangat kompleks dan multidemensi sehingga penangannya juga harus komprehensif,” jelasnya.
Beberapa negara yang mempunyai program pendidikan anti-bullying yang cukup efektif yakni Inggris dan Finlandia. Di Finlandia, terdapat program anti-bullying berbasis sekolah yang inovatif bernama KiVa yang melibatkan guru, murid, dan orang tua.
“Di Finlandia, orang tua yang mau menyekolahkan anaknya wajib mengikuti pendidikan anti-bullying. Nah, di sekolah, anak-anak ini mendapat pendidikan anti-bullying yang disampaikan dengan cara-cara kreatif dan interaktif misalnya lewat game online, video, sampai poster. Cara-cara seperti ini ternyata efektif membentuk karakter anti-bullying pada anak sejak usia dini,” jelas dia.
Selain itu, Fahira juga menilai bahwa yang menjadi korban tak hanya pihak yang diserang, namun juga pelaku. Pelaku dikatakan sebagai korban, karena memiliki hak untuk disadarkan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah salah, dan merupakan bagian dari kejahatan.
“Yang harus lebih dulu disadarkan bahwa aksi bully adalah persoalan serius adalah orang tua, sekolah termasuk guru. Jika pihak-pihak ini sadar, maka mereka akan berpikir dan tergerak untuk membuat pendidikan anti-bullying di sekolah masing-masing, dan orang tua lebih peduli terhadap perilaku anaknya. Semua ini bisa berjalan dengan baik jika ada cetak biru pendidikan anti-bullying sehingga baik sekolah maupun orang tua, tinggal menjalankannya dan anak-anak kita bisa terhindar sebagai pelaku maupun korban bully,” ucap Fahira. Sumber