Wakil Ketua Komite III DPD Republik Indonesia (RI), Fahira Idris, mengatakan aksi perisakan (bully) bagai lingkaran setan. Apabila tidak diputus, maka aksi tersebut akan terus berulang.
Untuk memutuskan lingkatan setan tersebut, pemerintah dinilai harus segera memiliki cetak biru. Menurut Fahira, anak-anak SMP yang menjadi pelaku perisakan, sebenarnya juga merupakan korban dari lingkungan yang menganggap aksi tersebut lumrah adanya. “Banyak negara sudah berhasil menekan aksi bullying karena pemerintahnya memformulasikan blue print pendidikan anti-bullying, yang berisi kerangka kerja terperinci,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (18/7).
Dia menyebut, aksi perisakan baik verbal maupun fisik di dunia pendidikan atau yang melibatkan pelajar, bukan hanya menjadi persoalan serius di Indonesia tetapi juga banyak negara lain di dunia. Cetak biru antiperisakan berisi kerangka kerja yang dijadikan landasan kebijakan, sasaran, strategi, detil kegiatan, serta teknis pelaksanaan. Dala, proses tersebut, sekolah menjadi pihak terdepan mengimplementasikannya.
Senator asal Jakarta tersebut mengatakan aksi perisakan pelajar sangat kompleks dan multidemensi sehingga penangannya pun harus komprehensif. Dalam konteks perisakan yang melibatkan anak-anak, pelaku juga harus dianggap sebagai korban. “Dia punya hak untuk disadarkan bahwa perbuatannya itu salah, bahkan sebuah kejahatan,” kata Fahira. Orang tua, sekolah, dan guru harus introspeksi, kenapa anak dan pelajar mereka menjadi pelaku perisakan.
Pihak pertama yang harus lebih dulu disadarkan tentang seriusnya permasalahan perisakan adalah orang tua, sekolah termasuk guru. Jika pihak-pihak ini sadar, kata dia, maka mereka akan berpikir dan tergerak untuk membuat pendidikan antiperisakan di sekolah masing-masing dan orang tua lebih peduli terhadap perilaku anaknya. Pendidikan antiperisakan dapat berjalan dengan baik apabila ada cetak biru sehingga sekolah dan orang tua tinggal menjalankannya. Alhasil, anak-anak pun mampu terhindar baik sebagai pelaku maupun korban perisakan.
Beberapa negara di dunia, kata Fahira, seperti Inggris dan Finlandia mempunya program pendidikan antiperisakan yang cukup efektif. Di Finlandia misalnya, terdapat program antiperisakan berbasis sekolah inovatif bernama Kiva yang melibatkan guru, murid, dan orang tua. Di Finlandia, orang tua yang mau menyekolahkan anaknya wajib mengikuti pendidikan antiperisakan. Pendidikan tersebut disampaikan dengan cara kreatif dan interaktif misalnya lewat gim daring, video, hingga poster. “Cara-cara seperti ini, efektif membentuk karakter anti-bully pada anak sejak usia dini,” ujar Fahira.
Seperti diberitakan sebelumnya, aksi perisakan yang melibatkan oknum pelajar, saat ini kembali heboh. Perisakan dilakukan beberapa pelajar SMP yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswi kelas 6 SD di pusat perbelanjaan Thamrin City, Jakarta. Aksi perisakan juga terjadi di sebuah kampus di Depok, Jawa Barat. Beberapa mahasiswa mengejek dan merisak seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Sumber