Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pidato Kenegaraan Keduanya dalam Rangka HUT ke-72 RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017) memaparkan berbagai capaian di sepanjang kepemimpinannya bersama Jusuf Kalla.
Dalam Sidang Tahunan MPR-DPR-DPD itu, Jokowi menyebutkan keberhasilan sejumlah programnya, seperti harga BBM satu harga di seluruh Indonesia dan pembangunan infrastruktur pekerjaan umum mulai dari jalan, bandara, maupun pelabuhan di berbagai wilayah Indonesia.
Akan tetapi, menurut Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, pidato tersebut belum mampu menjawab berbagai keresahan yang saat ini dialami masyarakat.
“Tentunya, berbagai capaian terutama penyelesaian berbagai pembangunan infrastruktur setahun belakangan ini harus kita apresiasi. Namun sangat sayang pada pidato keduanya, Presiden tidak menjawab secara langsung berbagai keresahan yang dirasakan rakyat. Padahal setahun belakangan, negeri ini cukup gaduh,’ ujar Fahira menghadiri pidato Kenegaraan Presiden di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (16/08/2017).
Fahira mengungkapkan, idealnya pada pidato kedua atau pada saat sidang bersama MPR, DPR, dan DPD yang khusus diperuntukkan bagi kepala negara, Jokowi mamaparkan kinerja dan terobosannya di berbagai bidang, menularkan optimisme kepada rakyat bahwa berbagai persoalan yang menerpa bangsa ini seperti daya beli masyarakat yang semakin turun, kelangkaan garam dan persoalan lain yang seharusnya bisa segera diselesaikan dengan baik.
“Memang tidak mungkin dipaparkan secara komprehensif dalam pidato, tetapi setidakanya presiden menangkap berbagai keresahan rakyat kemudian memberikan optimisme bahwa berbagai persoalan ini bisa segera diatasi,” katanya.
Tak singgung utang dan Perppu Ormas
Fahira menangkap Presiden Jokowi tidak secara khusus menyinggung soal membengkaknya utang luar negeri.
“Soal utang, kita butuh pernyataan Presiden bahwa utang luar negeri tidak membahayakan ekonomi bangsa. Nanti penjelasan rinci soal utang ini bisa dielaborasi saat pidato ketiga soal RAPBN. Poinnya rakyat butuh pernyataan tegas,” tukas senator asal Jakarta ini.
Sementara itu, persoalan sosial yang luput dibicarakan Jokowi adalah Perppu Ormas dan strategi pemerintah untuk merekatkan kembali relasi sosial rakyat Indonesia yang belakangan ini agak renggang akibat berbagai peristiwa politik di tanah air.
“Idealnya ada pernyataan tegas dari Presiden bahwa kebijakannya menerbitkan Perppu Ormas memang dibutuhkan. Yakinkan rakyat memang ada kegentingan yang memaksa beliau menerbitkan Perppu. Namun sayang, pernyataan-pernyataan seperti ini tidak keluar. Kita juga belum mendengar sejauh mana pembangunan infrastruktur pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil, apakah juga semasif pembangunan infrastruktur seperti jalan atau pelabuhan?” pungkas Fahira.
Hal senada juga dilontarkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut pidato yang disampaikan Jokowi sangat normatif.
“Saya kira secara umum normatif. Pidato hanya membahas kinerja dari berbagai lembaga negara,” kata Fadli Zon di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Politikus Gerindra itu memuji pidato Jokowi yang mengimbau persatuan, tapi Fadli mengkritik pidato mengenai ekonomi yang dinilai tidak sesuai dengan realitas lapangan. Fadli mengatakan naiknya tarif dasar listrik sangat memberatkan masyarakat. Dia juga menuding Jokowi mendapat informasi yang salah mengenai angka pertumbuhan ekonomi.
Dalam pidatonya tersebut, Presiden Jokowi memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 3 tahun terakhir. Indonesia pun dapat mengelola inflasi pada level rendah, terutama ketika periode Lebaran. Atas pencapaian itu, pemerintah mampu mendorong kemiskinan lebih rendah menekan ketimpangan dan mengurangi angka pengangguran. Tingkat kemiskinan di Indonesia turun, dari 28,59 juta orang pada Maret 2015 menjadi 27,77 juta orang pada Maret 2017.
Begitu juga Indeks Rasio Gini Indonesia, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, terus membaik dan mencapai 0,393 pada Maret 2017 atau turun dibanding angka pada September 2014, yaitu 0,414.
Dalam pidatonya, Jokowi menyebut pemerintah bergerak lebih maju lagi pada tahun ketiga kepemimpinannya dengan fokus pada kebijakan pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Sumber