Temuan Tentang Kondisi Pekerja Migran Indonesia Saat Kunjungan Kerja ke Yordania
Senator Dapil DKI Jakarta
Senator Dapil DKI Jakarta
Temuan Tentang Kondisi Pekerja Migran Indonesia Saat Kunjungan Kerja ke Yordania

Temuan Tentang Kondisi Pekerja Migran Indonesia Saat Kunjungan Kerja ke Yordania

Kemarin malam delegasi Komite III DPD RI disambut hangat di Amman Jordan oleh Dubes RI untuk Yordania & Palestina, Bapak. Andy Rachmianto dan istri, Ibu Ismi Rachmianto.

Saya berkesempatan memimpin delegasi Komite III DPD RI melakukan Kunjungan Kerja ke Amman Jordan dalam rangka evaluasi implementasi UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Saya mengucapkan terima Kasih banyak kepada Dubes RI untuk Yordania & Palestina Bp Andy Rachmianto yang telah memberikan banyak masukan terkait kondisi-kondisi PMI (Pekerja Migran Indonesia) di Yordania.

Meningkatnya pekerja migran di setiap negara merupakan keniscayaan bahkan perkembangan era globalisasi, lalu lintas migrant workers antar negara tidak lagi dibedakan antara negara maju dan negara berkembang.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang melakukan hal yang sama dengan menempatkan pekerja migran ke luar negeri. Penempatan pekerja migran ke luar negeri merupakan bentuk peran serta Indonesia dalam peningkatan kerjasama antar negara di satu sisi. Dan di sisi lain merupakan bentuk peningkatan kualitas ekonomi dan kehidupan masyarakat Indonesia yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sehingga terbuka luas bagi setiap warga negara Indonesia untuk bekerja.

Meskipun bekerja di luar negeri merupakan hak asasi manusia, bagi Indonesia asumsi yang seharusnya tersedia adalah:

  1. Pertama, ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri bagi angkatan kerja yang ada sehingga mampu menghentikan arus pekerja domestik migran secara alamiah.
  2. Kedua, terdapat jaminan kepastian kelayakan dan sekaligus perlindungan bagi pekerja domestik migran tanah air di luar negeri untuk mendapat penghidupan serta kesejahteraan. Namun kedua pilihan di atas dalam realitas tidak mudah dipenuhi.

Terlepas dari argumentasi di atas, fakta yang tidak terbantahkan bagi Indonesia adalah bahwa remitensi pekerja migran Indonesia sangat tinggi. Menurut BNP2TKI jumlah remitansi pekerja migran Indonesia pada tahun 2016 sebesar US$ 8,1 miliar atau Rp 108,32 triliun sedangkan pada Januari sd November 2017 silam mencapai sebesar US$ 8 miliar atau setara Rp 108 triliun. Demikian halnya dengan data penempatan pekerja migran Indonesia. Sepanjang Januari-Agustus 2017, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah berhasil menempatkan 148.285 TKI ke sejumlah negara. Para pekerja migran prosedural tersebut tersebar di kawasan Asia-Pasifik, Amerika, Timur Tengah, dan Eropa.

Meski jumlah penempatan pekerja migran Indonesia pada tahun 2017 mengalami penurunan namun dari sisi postur penempatan pekerja migran Indonesia tidak berubah. Jumlah pekerja formal lebih banyak ketimbang jumlah pekerja informal yakni 83.943 orang pekerja formal dan 64.342 orang pekerja informal

Dilihat dari latar belakang pendidikan, para TKI yang bekerja di luar negeri masih didominasi lulusan SD-SMP dengan angka 65 persen. Selebihnya beragam, mulai dari tingkat SLTA hingga perguruan tinggi, yaitu diploma, sarjana, dan pascasarjana. Dari sisi gender, tenaga kerja dari Indonesia mayoritas perempuan, yaitu sebanyak 93.641 perempuan, di mana persentase ini jauh lebih banyak daripada laki-laki yang hanya 54.644 orang. Adapun berdasarkan skema penempatan, terbagi dalam skema private to private (P to P) sebanyak 119.266 orang, reentry sebanyak 19.712 orang, perorangan/individu berjumlah 6.768 orang, dan goverment to government (G to G) 2.408 orang.

Khusus di Negara Yordania, berdasarkan data Menteri Perburuhan Yordania, jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tercatat adalah 2.805 orang, dan hanya 505 orang yang tercatat memiliki ijin kerja yang sah, sisanya 2.300 masuk dalam kategori illegal.

Pada tahun 2017 KBRI Amman telah memulangkan 231 PMI dengan pengembalian hak PMI sebesar Rp 3,8 milyar. Sejak diberlakukannya Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah, pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) sudah tidak dilakukan lagi, namun masalah-masalah yang tersisa masih dihadapi.

Masalah utama yang dihadapi oleh para #PMI di Yordania pada umumnya terkait dengan gaji yang belum dibayar, dan denda izin tinggal yang tidak diurus oleh Majikan. Masalah utama yang dihadapi oleh para PMI di Yordania pada umumnya terkait dengan gaji yang belum dibayar, dan denda izin tinggal yang tidak diurus oleh Majikan.

Dengan postur penempatan pekerja migran Indonesia sebagaimana tersebut di atas, dapat dipastikan persoalan terkait pengiriman pekerja migran akan tetap ada sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Persoalan tersebut akan berkisar antara lain tentang proses rekrutmen, minimnya pengetahuan dan kompetensi pekerja migran baik terhadap hal-hal teknis maupun non teknis misalnya pengetahuan perihal budaya dan sosial masyarakat di negara penempatan, & perlindungan hukum.

Di Yordania, sebagaimana dipaparkan oleh Kementerian Perburuhan Yordania, dari jumlah 2805 pekerja migran, maka hanya 500 pekerja migran Indonesia yang memiliki izin kerja legal. Sisanya illegal. Dampak illegal, proteksi terhadap pekerja migran tersebut lemah. Bahkan, bila terjadi pelanggaran terhadap hak-haknya, negara sukar melindungi secara optimal. Komite III DPD RI melakukan kunjungan kerja ke Yordania untuk menelisik, mengklarifikasi dan menemukenali akar permasalahan pekerja migran di luar negeri serta bagaimana implementasi UU PPMI.

Dubes Yordania, Andy Rachmianto, di dalam pengantar dialog, memaparkan bahwa komitmen negara untuk hadir di dalam perlindungan pekerja migran Indonesia merupakan cerminan kebijakan Pemerintah Pusat, khususnya menyangkut pelayanan dan pelindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) dalam hal ini Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Kehadiran pekerja migran illegal semakin marak, pasca diterbitkannya kebijakan moratorium pengiriman pekerja migran ke Timur Tengah melalui Permenaker Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada pengguna Perseorangan. Moratorium sudah berlangsung sejak tahun 2011 dan berlanjut tahun 2015 sampai sekarang. Sebelum moratorium memang sudah terjadi masalah terhadap pekerja migran Indonesia.

Di tahun 2011-2012 saja, KBRI Yordania menangani dan menampung hampir 600 migran yang bermasalah atau illegal. Namun di tahun ini sudah sangat jauh berkurang di mana yang ditampung di Shelter Griya Singgah tinggal 14 orang pekerja migran yang tengah ditangani masalahnya.

Secara statistik kasus yang ditangani KBRI Yordania, untuk lima tahun terakhir, masalah pekerja migran bermasalah mencakup 5.870 kasus di mana yang tertinggi di tahun 2012 sebanyak 1.269 kasus sedangkan yang terendah tahun 2017 sebanyak 675 kasus.

Dubes Yordania memaparkan pula, faktor-faktor penyebab munculnya pekerja migran bermasalah khususnya di sektor informal dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Pertama, KBRI memahami, pekerja migran Indonesia pada umumnya adalah korban. Dikirim pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Usia dipalsu untuk memenuhi syarat penempatan pekerja migran. Diduga ini model perbudakan modern yang mengarah pada human traficking (perdagangan manusia).
  2. Kedua, dari 301 kasus yang ditangani oleh KBRI Yordania dan telah berhasil dipulangkan ke tanah air, maka terdapat modus pada kasus-kasus gaji yang tidak dibayar majikan, akibat secara ekonomi majikan terdapat penurunan kapasitas ekonomi. Semula dijanjikan di akhir masa kerja gaji diberikan, namun mereka kemudian beralasan tidak sanggup bayar. Ada yang mencapai 15 tahun belum dibayar. Ketika tidak mampu bayar, ada majikan yang menuduh pekerja mencuri dan melapor ke Polisi hanya untuk menghindar kewajiban membayar gaji. Ada pula yang mengalami stress, tertekan secara psikis akibat pengucilan oleh majikan. Menyangkut hal gaji tidak dibayar, KBRI melakukan lobby yang intensif dengan majikan sehingga akhirnya terdapat kesepakatan mencicil gaji dimaksud. Belum lagi ada majikan yang tidak membayar izin tinggal sehingga berakumulasi tahunan semakin membesar.
  3. Ketiga, terdapat pola penyalahgunaan visa on arrival atau visa turis di mana pekerja migran masuk ke Yordania menggunakan visa on arrival lalu diurus oleh agen di Yordania izin tinggalnya sehingga menjadi legal. Hal ini kerapkali tidak dilaporkan ke KBRI sehingga mempersukar pemantauan. Belum lagi adanya modus perjanjian yang ditandatangani di Indonesia dengan klausul yang tidak sesuai ketentuan internasional seperti lembur tidak dibayar dengan uang melainkan dengan jatah libur yang ganjilnya diberikan ketika perjanjian telah selesai.

Selanjutnya selama berada di KBRI Yordania di Amman, delegasi Komite III DPD RI juga mengunjungi Shelter/Griya Singgah di Gedung KBRI tersebut yang merupakan tempat penampungan sementara bagi pekerja Migran Indonesia yang bermasalah. Ada yang menarik di Shelter tersebut.

  1. Pertama, KBRI tidak sekedar menampung pekerja migran. Namun melakukan pemberdayaan. Pekerja migran yang bermasalah tersebut dilatih untuk menari. Memasak. Ditampilkan di bazar dan hotel dalam rangka promosi Indonesia. Dengan demikian terdapat peningkatan kapasitas yang diharapkan sepulang ke tanah air dapat mandiri.
  2. Kedua, pekerja migran yang berada di shelter kini terdapat 14 orang yang didominasi berasal dari Jawa Barat (Cirebon, Cianjur). Selain itu, ada pula dari Serang-Banten, Banjarmasin dan NTB. Para pekerja migran yang di shelter tidak hanya menunggu kepulangan ke Indonesia, namun tengah diperjuangkan hak-hak gajinya oleh KBRI. Pada umumnya kasusnya adalah gaji yang tidak dibayar. Ada yang 15 tahun gaji tidak dibayar. Bahkan,karena telah lama di Yordania, ada yang kesukaran berbahasa Indonesia. Hal ini didampingi secara psikologi oleh staf KBRI untuk kembali pulih sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pendampingan menjadi penting karena ada pula pekerja migran yang mengalami tekanan kejiwaan akibat pengucilan oleh majikan. Belum lagi yang terlibat kriminalitas.
  3. Ketiga, KBRI melakukan deteksi terhadap persoalan pekerja migran serta melibatkan badan internasional dan LSM seperti ILO, UNHCR maupun kalangan swasta seperti Dato Sri Taher dari Mayapada Grup untuk membantu pekerja migran yang bermasalah. Dato pernah membiayai kepulangan para pekerja migran selain berencana membantu pembentukan Balai Latihan Kerja (BLK) agar pekerja Indonesia semakin berkualitas.

Komite III DPD RI sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI yang mengemban tugas, fungsi dan wewenang di bidang Ketenagakerjaan, secara rutin dan berkesinambungan hingga tahun 2017 melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU pelaksanaan UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Saat ini, pada tahun 2018 dengan pencabutan UU PPTKILN dan pengundangan UU No. 18 Tahu 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) Komite III DPD RI berkomitmen untuk melaksanakan fungsi pengawasan tersebut berdasarkan UU PPMI.

DPD RI merupakan lembaga negara yang merepresentasikan kepentingan masyarakat dan daerah serta diatur di dalam UUD 1945. DPD RI memiliki alat kelengkapan, salah satunya, Komite III yang memiliki kewenangan diantaranya melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. Di dalam hal ini pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Persoalan pekerja migran di luar negeri pada umumnya berangkat dari masalah ekonomi di dalam negeri yang mendorong warga untuk bekerja di luar negeri. Masalah kemudian timbul ketika prosedur untuk menuju negara penempatan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Akibatnya, pada saat berada di negara penempatan, maka pekerja migran tersebut berstatus illegal. Data yang kami peroleh dari Kementerian Perburuhan Yordania yang dikutip media , dari 2805 orang pekerja migran di Yordania, hanya 505 yang memiliki izin kerja yang sah. Sisanya illegal. Hal ini jelas melanggar ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, Komite III DPD RI sebagai parlemen yang merepresentasikan daerah dan masyarakat berkepentingan untuk mendalami persoalan tersebut. Diharapkan, hasil kunjungan kerja ini akan menjadi bahan komperhensif pengawasan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sehingga dapat berkontribusi bagi perbaikan kondisi dan kesejahteraan pekerja migran yang bekerja di luar negeri.

Terimakasih Pak Dubes, dari Jakarta kami bawakan pak Dubes #souvenir Asian Games 2018, semoga bermanfaat.

#PressRelease

Related Posts

Leave a Reply

Sampaikan aspirasimu!