Raker Dengan Menteri KLHK, Fahira Bahas Draft RUU Cipta Kerja
Senator Dapil DKI Jakarta
Senator Dapil DKI Jakarta
Raker Dengan Menteri KLHK, Fahira Bahas Draft RUU Cipta Kerja

Raker Dengan Menteri KLHK, Fahira Bahas Draft RUU Cipta Kerja

Hari ini, Senin (17/2) kami rapat kerja dengan Menteri Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mungkin bu Menteri bosan terus ditanya soal izin lingkungan dalam draft omnibus law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja. Tapi saya harus bertanya, karena saya belum pernah membaca dan mendengar uraian pemerintah secara lengkap soal ini baik dari media maupun dari bebagai diskusi. .

Setidaknya ada beberapa hal yang menganggu, jika saya membaca draft RUU Cipta Kerja. Saya melihat terdapat narasi dibeberapa pasal yang penafsirannya terbuka lebar atau jika dalam konteks lingkungan hidup pasal-pasal tersebut mereduksi norma pertanggungjawaban hukum korporasi.

PERTAMA, revisi Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal yang masih berlaku saat ini berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Ada dua rangkaian kalimat yang penting, pertama BERTANGGUNG JAWAB MUTLAK dan kedua TANPA PERLU PEMBUKTIAN UNSUR KESALAHAN. .

Coba kita lihat dalam Pasal 23 ayat 35 draf RUU Cipta Kerja, Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini diubah menjadi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”. Ketentuan TANPA PERLU PEMBUKTIAN UNSUR KESALAHAN sudah dihilangkan oleh pemerintah. .

KEDUA, soal revisi pasal 49 UU Kehutanan. Sedianya berbunyi “pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. Namun dalam draf Omnibus Law (pasal 50), pasal itu diubah menjadi, “pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya.

Kalau saya dan mungkin publik membaca frasa penting yaitu Tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi, menjadi sekedar bertanggungjawab untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran di RUU Cipta Kerja seperti melepaskan tanggung jawab hukum pemegang konsesi jika terjadi kebakaran di arealnya.

Pertanyaan Saya,

  • Apa dasarnya ketentuan ini dihapus?
  • Apa yang membuat pemerintah sengaja menghapus frasa ini?
  • Apakah selama ini, perusahaan yang kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan mengelola limbah B3 yang dampaknya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup merasa pasal ini memberatkan mereka sehingga enggan berinvestasi?

Related Posts

1 Response

Leave a Reply

Sampaikan aspirasimu!