Anggota DPD RI Fahira Idris menyambut baik tekad Pemerintah untuk menghapus atau nol persen kemiskinan ekstrem di Indonesia pada tahun 2024. Namun, pengentasan kemiskinan bisa berhasil jika sebuah negara memiliki sebuah sistem yang terdiri dari berbagai perangkat yang melindungi individu, rumah tangga, atau masyarakat umum dari berbagai resiko yang muncul akibat guncangan ekonomi, dan memberikan bantuan bagi mereka yang rentan terhadap risiko tersebut atau yang sering disebut dengan sistem perlindungan sosial.
“Jika ingin kemiskinan atau bahkan kemiskinan ekstrem turun drastis bahkan terentas maka sistem perlindungan sosial kita harus direformasi terlebih dahulu agar bisa lebih inklusif dan tepat sasaran. Reformasi juga harus memastikan sistem perlindungan sosial berkesinambungan dan adaptif. Walau sudah terjadi banyak kemajuan, tetapi harus kita akui, saat ini, program perlindungan sosial masih terfragmentasi dan belum disalurkan dengan metode mudah bagi penduduk miskin,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta (8/6).
Menurut Fahira Idris, intensitas dan ragam program perlindungan sosial yang digelar Pemerintah selama pandemi, bisa menjadi bahan evaluasi yang efektif untuk mereformasi sistem perlindungan sosial. Selain masih terfragmentasi, program perlindungan sosial juga masih belum inklusif dan tepat sasaran karena masih terdapat masyarakat yang paling rentan, seringkali masih tereksklusi. Selain itu, cakupan data yang terbatas mempersulit perluasan cakupan perlindungan sosial. Sistem perlindungan sosial juga belum sepenuhnya stabil dan berkelanjutan dan masih didominasi oleh pembiayaan APBN.
Jika ingin dirangkum, lanjut Senator Jakarta ini, setidaknya terdapat enam situasi yang harus segera dibenahi untuk mereformasi sistem pelindungan sosial. Pertama, segera menyempurnakan data dasar penargetan perlindungan sosial yang mencakup keseluruhan penduduk. Kedua, harus ada integrasi yang erat antara regulasi, kebijakan, anggaran, termasuk institusi pelaksana perlindungan sosial agar terjalin kolaborasi. Ketiga, formulasikan sistem atau metode yang mudah dalam menyalurkan bantuan sosial kepada penduduk miskin.
Keempat, penyaluran bantuan sosial harus sedapat mungkin responsif dan adaptif kebencanaan. Ini karena, bencana alam menjadi penyebab masyarakat kehilangan peluang usaha dan bekerja sehingga mendorong mereka menjadi miskin atau hampir miskin. Kelima, kolaborasi semua lembaga dan pemangku kepentingan program perlindungan sosial yang memanjang sampai tingkat desa/kelurahan. Keenam, institusi lembaga pelaksana perlindungan sosial mulai dari Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan mesti terus diperkuat.
“Upaya agar kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024, bukan hanya soal kewajiban konstitusional. Namun juga karena pertimbangan strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang produktif, terdidik, terampil, dan sehat untuk menghadapi berbagai tantangan baik pada lingkup nasional, regional maupun global,” pungkas Fahira Idris.#