Transportasi publik atau angkutan umum menjadi denyut aktivitas sehari-hari warga terutama di kota-kota besar dan wilayah aglomerasi seperti Jabodetabek. Di Jakarta saja, pada periode 8 Maret- 6 April 2022, jumlah penumpang transportasi umum sebanyak 1,1 juta orang per hari. Karena sudah menjadi ruang publik yang menyatu dengan keseharian warga, transportasi umum bukan hanya harus selamat, nyaman, terintegrasi dan tarifnya terjangkau tetapi juga aman dari tindakan pelecehan seksual. Oleh karena itu, regulasi di sektor transportasi untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang harus segera dirumuskan diimplementasikan.
Anggota Komite II DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan transportasi atau perhubungan mengungkapkan, sejauh ini regulasi sektor transportasi terkait keselamatan dan kenyaman sudah cukup baik terutama memastikan keselamatan, kenyaman dan fasilitas bagi ibu hamil, anak, penyandang disabilitas, dan manula. Namun, regulasi sektor transportasi khusus yang mengatur soal pencegahan pelecehan seksual belum ada.
“Kita harus akui regulasi di sektor transportasi belum optimal mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang. Idealnya Kementerian Perhubungan sudah mulai merumuskan regulasi yang melindungi penumpang dari pelecehan seksual, agar standarnya sama di semua daerah dan berlaku secara nasional. Libatkan semua pemangku kepentingan dalam merumuskan regulasi ini mulai dari komunitas penumpang angkutan umum, lembaga pemberdayaan dan advokasi perempuan, LSM yang concern terhadap isu kekerasan seksual, penegak hukum dan tentunya operator angkutan umum. Poin penting dari regulasi ini adalah memastikan operator menyempurnakan standar operasional prosedur dan memastikan penegak hukum membawa kasus ini ke ranah hukum terutama lewat payung Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ujar Fahira Idris melalui keterangan tertulisnya (20/7).
Menurut Fahira, fenomena pelecehan seksual di transportasi umum harus diatur dari hulu hingga hilir sehingga sama sekali menutup peluang terjadi pelecehan seksual. Dari hilir misalnya kewajiban bagi operator menggencarkan kampanye melawan pelecehan seksual, mengajak korban jangan takut melapor, sosialisasi ancaman sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual serta upaya mitigasi lainnya misalnya pemasangan CCTV di transportasi umum massal (kereta api, MRT, LRT, Transjakarta dan lainnya). Dari sisi hilir, memastikan kasus pelecehan seksual di bawa ke ranah hukum dengan payung hukum UU TPKS.
Bagi Fahira, harus ada shock therapy bagi pelaku pelecehan seksual di angkutan umum yaitu dijerat dengan UU TPKS. Pelecehan yang terjadi di angkutan umum biasanya pelecehan seksual non fisik dan fisik. Pelecehan seksual non fisik misalnya gerak tubuh atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Dalam UU TPKS pelecehan seksual non fisik ini bisa dipidana hingga 9 bulan penjara dan denda paling banyak Rp10 juta. Sementara untuk pelecehan fisik, pelaku dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda hingga Rp300 juta.
“Harus ada shock therapy agar ada efek jera. Bagi yang pernah melakukannya tidak akan berani lagi melakukannya karena sudah dihukum berat. Sementara bagi yang mau mencoba-coba akan takut melakukannya karena beratnya hukumannya yang akan ditanggung para pelaku pelecehan seksual ini di angkutan umum ini,” pungkas Senator Jakarta ini. #