Sebagai kelanjutan dari proses penyusunan RUU Usul Inisiatif DPD RI tentang Ketahanan Keluarga yang telah di mulai pada masa sidang sebelumnya, Komite III DPD RI pada masa sidang V tahun 2016-2017 melakukan kunjungan kerja. Kunjungan kerja yang dilaksanakan di Jawa Timur dipenuhi dengan kegiatan dialog dengan Pemerintah Provinsi dan OPD setempat pada Selasa 20 Juni 2017 bertempat di Kantor Gubernur.
Fahira Idris, SE, MH selaku pemimpin delegasi yang juga Wakil Ketua Komite III DPD RI dalam sambutan pembukaannya menyatakan, target dan capaian kunjungan kerja adalah inventarisasi berbagai pandangan dan pendapat guna memperkaya substansi muatan RUU Ketahanan Keluarga. “Jawa Timur menjadi lokasi kunjungan kerja dilatarbelakangi oleh data dan fakta tingginya yang menarik yang dimiliki oleh Jawa Timur terkait dengan isu ketahanan keluarga. Sehingga patut untuk ditelaah dan dikaji”.
“Jawa Timur misalnya memiliki angka perceraian tertinggi di Indonesia. Dari 349.774 kasus perceraian yang terjadi di Indonesia pada 2015, sebanyak 87.241 terjadi di Jawa Timur. Jawa Timur juga dikategorikan memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak yakni 4638.53 ribu jiwa. Padahal sebagaimana umum diketahui bahwa ketahanan ekonomi keluarga menjadi basis utama bagi pemenuhan ketahanan keluarga lainnya seperti ketahanan fisik, ketahanan sosial dan Ketahanan budaya”, Ujar Senator Asal DKI Jakarta.
Kushindarwito Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur yang menyambut rombongan Komite III membenarkan data yang disampaikan oleh Fahira Idris. Menurutnya “meskipun dari sisi sumber daya alam terutama pertanian dan ketersediaan pangan Jawa Timur baik bahkan surplus namun hal tersebut tidak memberikan jaminan tingginya Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi ini yang masih ada di peringkat ke 15. Ini artinya banyak faktor yang menentukan IPM bukan sebatas terpenuhi kebutuhan pangan. Tak ayal berbagai problema ketahanan keluarga-pun banyak terjadi di Jawa Timur”.
Dari dialog dengan Pemprov Jatim dan jajarannya Komite III DPD RI memperoleh banyak masukan bagi substansi RUU Ketahanan Keluarga, salah satunya terkait dengan perlunya diatur perihal kewajiban untuk melakukan persiapan dalam pembentukan keluarga bagi calon mempelai berupa konseling Pra-nikah yang meliputi aspek medis maupun Non-medis, spiritual maupun materiil. Disamping itu RUU Ketahanan Keluarga seharusnya juga memuat tentang norma tentang pembangunan dalam perkembangan keluarga yang harus meliputi pembangunan Ketahanan Keluarga pada perkembangan masa balita, remaja dan lanjut usia.
Yang tidak kalah penting, kurangnya komitmen politis dari pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota terhadap implementasi UU 52/2009 telah menyebabkan ketidakseragaman penyebutan dan struktur OPD yang bertanggung jawab pada bidang kependudukan dan keluarga sehingga pelaksanaan kebijakan kependudukan dan keluarga tidak optimal. Oleh karena itu keberadaan RUU Ketahanan Keluarga harus diarahkan dan menjawab kelemahan terkait penguatan komitmen pemerintah daerah dalam pembangunan ketahanan keluarga.