Anggota DPD RI Fahira Idris menilai Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan sudah sangat komprehensif dan dalam implementasi cukup baik mengatur profesi keperawatan sehingga tidak perlu masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law. Jika UU Keperawatan tetap masuk dalam RUU Kesehatan Omnibus Law dikhawatirkan mengganggu berbagai pengaturan soal keperawatan yang saat ini sudah berjalan sangat baik.
“Kita tahu bersama, undang-undang Keperawatan sudah menjadi pondasi yang kuat dalam pengembangan profesi perawat di Indonesia. Sejak 2014, undang-undang ini sudah mengatur dari hulu ke hilir. Sudah mengatur pendidikan sampai praktiknya dan saat ini hampir semua peraturan pelaksanaannya sudah terbit dan sudah mulai diimplementasikan baik di tingkat pusat atau tingkat daerah dan sampai tingkat institusi. Jadi kalau dimasukan ke dalam RUU Kesehatan Omnibus Law dikhawatirkan kita memulai lagi dari awal lagi,” ujar Fahira Idris saat menjadi pembicara diskusi yang digelar Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jakarta Utara (10/12).
Fahira Idris mengungkapkan, berkat UU Keperawatan yang eksis saat ini, aturan tentang pendidikan keperawatan dan praktiknya yang sudah bisa dilakukan perawat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes). Bahkan, perawat juga bisa membuat praktik secara mandiri. Selain itu, UU Keperawatan sudah secara baik mengatur bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan oleh Perawat didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi di bidang ilmu keperawatan yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan klien (masyarakat pengguna jasa keperawatan), perkembangan ilmu pengetahuan, dan tuntutan globalisasi.
Saat ini, berkat UU Keperawatan juga, sudah banyak perawat-perawat yang praktik mandiri yang sudah dipercaya masyarakat karena UU ini mampu mentransformasi pelayanan keperawatan yang dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman oleh Perawat yang telah mendapatkan registrasi dan izin praktik.
“Bagi saya, Undang-Undang Keperawatan berhasil mewujudkan praktik keperawatan sebagai wujud nyata dari pelayanan keperawatan dilaksanakan secara mandiri dengan berdasarkan pelimpahan wewenang, penugasan dalam keadaan keterbatasan tertentu, penugasan dalam keadaan darurat, ataupun kolaborasi. Artinya tidak ada alasan Undang-Undang Keperawatan harus masuk dalam RUU Kesehatan Omnibus Law,” pungkas Fahira Idris.
Sebagai informasi, berbagai organisasi profesi kesehatan mulai dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta anggota, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menggelar aksi damai di area gerbang gedung DPR menolak RUU Omnibus Law Kesehatan (28/11). RUU Kesehatan Omnibus Law sendiri merupakan perubahan dari UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bedanya, RUU Kesehatan ini penyusunannya menggunakan metode omnibus law. Sejumlah undang-undang disebut akan masuk ke dalam revisi UU Kesehatan yang menggunakan mekanisme omnibus. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.#