Berbagai elemen masyarakat di Provinsi Yogyakarta ramai menyerukan “Jogja Darurat Miras” akibat peredaran miras di wilayah mereka yang semakin meresahkan. Terlebih, pada Rabu (23/10/2024) lalu, santri Ponpes Fatimiyah Al Munnawir, Krapyak, menjadi korban penusukan oleh sekelompok pemuda yang diduga dalam kondisi mabuk miras. Masyarakat meminta ada pengaturan yang tegas soal produksi, distribusi dan konsumsi miras.
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris mengungkapkan, miras akan terus menjadi “bom waktu” yang kapan saja bisa “meledak” di berbagai wilayah Indonesia selama belum ada undang-undang (UU) yang mengaturnya. Menurutnya, aturan terkait miras yang ada saat ini, sudah tidak bisa lagi menjawab kompleksitas persoalan produksi, distribusi, konsumsi dan terutama untuk melindungi generasi muda dan anak-anak dari bahaya miras. Sebagai benda yang bernilai ekonomis tetapi mempunyai dampak sosial yang tinggi, sudah selayaknya miras diatur dalam aturan hukum yang tegas, jelas, komprehensif dan berlaku secara nasional.
“Untuk konteks Indonesia, persoalan miras ini bisa dikatakan paradoks. Kita semua sepakat bahwa miras adalah penyakit sosial, tetapi walau sudah merdeka 79 tahun, Indonesia tidak punya undang-undang untuk mengaturnya. Lebih ironi lagi, pembahasan RUU Miras antara Pemerintah dan DPR sudah berjalan 15 tahun tetapi tidak kunjung disahkan. Berkali-kali RUU Miras masuk prolegnas, tetapi berkali-kali juga gagal disahkan menjadi sebuah undang-undang. Selama tidak undang-undang yang mengatur miras, selama itu juga kita akan terus dibelit persoalan miras. Pengesehan UU Miras mendesak,” ujar Fahira Idris yang juga Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta ini di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (30/10).
Fahira Idris menjelaskan, di banyak negara dunia bahkan di negara yang paling bebas dan mempunyai tradisi minum alkohol, sejak berdekade lalu, miras sudah dipandang sebagai komoditas yang harus diatur secara ketat dan tegas lewat UU karena mempunyai dampak sosial dan kesehatan yang buruk terhadap kehidupan warga, baik secara personal maupun dalam tataran kehidupan masyarakat. Kesadaran ini melahirkan konsensus bahwa semua pelanggaran terkait miras, sanksinya harus menjerakan agar pelanggaran tidak berulang dan bisa ditekan seminimal mungkin.
Situasi sebaliknya, terjadi di Indonesia. Belum diaturnya produksi, distribusi, pengedaran, penjualan termasuk promosi, dan konsumsi miras dalam sebuah UU menjadikan segala pelanggaran terkait miras sama sekali tidak menjarakan karena sebagian besar hanya bersifat administratif. Selama tidak diatur dalam UU, pelanggaran terkait miras akan leluasa terjadi. Dengan UU Miras, memungkinkan segala pelanggaran terkait miras diberi sanksi tegas terutama sanksi pidana dan denda yang menjerakan.
“Aturan soal miras yang ada saat ini mulai Perpres dan Permendag, tidak memungkinkan memberi sanksi pidana. Adapun daerah yang sudah mempunyai Perda Miras, maksimal sanksi pidananya hanya enam bulan kurungan atau denda. Jadi sama sekali tidak menjerakan,” pungkas Fahira Idris.
Sebagai informasi, pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (LMB) di DPR sudah sudah berjalan hampir 15 tahun. Selain selalu masuk Prolegnas, RUU LMB ini sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014, kemudian dilanjutkan periode 2014-2019 hingga periode DPR 2019-2024. Pada 2024 ini, RUU LMB juga kembali masuk Prolegnas.#