PK Baiq Nuril Ditolak, Preseden Tak Baik Perlindungan Perempuan
Senator Dapil DKI Jakarta
Senator Dapil DKI Jakarta

PK Baiq Nuril Ditolak, Preseden Tak Baik Perlindungan Perempuan

Upaya Baiq Nuril menjemput keadilan dan melepaskan diri dari jerat pidana pada tingkat peninjauan kembali (PK) ‘dimentahkan’ Mahkamah Agung (MA). Penolakan ini menjadi keperihatinan besar bagi bangsa ini terutama bagi kaum perempuan. Baiq Nurul yang sebenarnya korban pelecehan seksual verbal malah harus dijerat hukum hanya karena ingin membuktikan pelecehan yang menimpanya. Atas penolakan ini, Baiq Nuril harus menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.

“(Penolakan PK) ini menjadi preseden tidak baik perlindungan perempuan di negeri ini. Karena jika terjadi kasus serupa, perempuan akan lebih memilih diam dari pada kena pidana. Ini sangat memperihatinkan, dan ini momentum agar Pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE. Pasal-pasal karet dalam UU ini membelenggu keadilan terutama mereka yang lemah. Tidak boleh ada Baiq Nuril-Baiq Nuril lain,” tukas Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan Politik, Hukum, dan HAM, di Jakarta (5/7).

Fahira mengungkapkan, penolakan PK ini melukai rasa keadilan publik. Selama ini publik berharap MA menjadi oase dalam mengadili kasus-kasus yang terkait UU ITE karena memang terbukti berbagai pasal dalam UU ini bermasalah. Terlebih kasus Baiq Nuril yang mendapat perhatian besar dari publik karena yang bersangkutan adalah korban pelecehan seksual verbal.

“Sekarang saya mau tanya, sebagai korban pelecehan seksual secara verbal, keadilan apa yang didapat Ibu Baiq Nuril. Hukum ada di mana saat dia dilecehkan. Walau sebagai warga negara kita harus menghormati penolakan PK ini, tetapi sebagai warga negara, kita juga berhak menyampaikan keperihatinan atas putusan MA ini,” ujar Senator Jakarta ini.

Kasus ini bermula ketika Baiq Nuril—mantan staf honorer di salah satu SMA negeri di Mataram, NTB—merekam pembicaraan kepala sekolahnya dengan dirinya yang diduga mengandung muatan kesusilaan. Belakangan, percakapan itu terbongkar dan beredar di masyarakat. Kepala sekolah tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi pada 2015 dan disangkakan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE.

Pada Juli 2017, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril karena hakim menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE di pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) sebagaimana dakwaan jaksa. Namun di tingkat kasasi, Nuril divonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta. Kemudian, untuk menjemput keadilan, Baiq Nuril mengajukan PK pada Januari 2019. Pada Juli 2019, MA menolak PK Baiq Nuril. #

Related Posts

1 Response

Leave a Reply

Sampaikan aspirasimu!