Republika.co.id – “Kemenangan telak hingga dua digit pada Pilkada lalu karena mayoritas warga Jakarta menolak reklamasi. Untuk itu jangan ada kompromi, warga Jakarta ada di belakang Anies-Sandi,” ujar Fahira dengan tegas di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/10).
Ia berharap, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno untuk terus maju menolak reklamasi bersama dengan warganya kelak. Menurutnya, pemerintah pusat boleh memiliki kuasa, wewenang, dan uang, tapi selama rakyat bersatu dan mengatakan ‘tolak reklamasi’, kekuatan apa pun harus tunduk.
Keputusan Pemerintah Pusat mencabut moratorium reklamasi 17 pulau di Pesisir Utara Jakarta yang telah dihentikan sejak 2016 lalu, menurut Fahira, merupakan sebuah ujian. Ujian yang bukan hanya bagi Anies-Sandi, tetapi juga bagi mayoritas warga Jakarta yang sudah begitu jengah menyaksikannya.
“Publik Jakarta itu sudah lelah melihat berbagai pembiaran pelanggaran hukum yang dilakukan terang-terangan hanya demi kepentingan pengembang,” kata Ketua Komite III DPD RI itu.
Ia menyebutkan, sejak awal, sudah ada pengabaian hak warga Jakarta untuk mengetahui secara komprehensif mengenai informasi proyek reklamasi. Misalnya, informasi apakah sudah ada studi dari berbagai bidang kajian seperti regulasi, sosial, ekonomi, budaya, teknis, dan terutama analisis dampak lingkungan terhadap proyek reklamasi itu.
“Atau bagaimana rencana jalan raya, jaringan listrik, atau jika ada jalur kereta api, apartemen, atau kawasan pelabuhan. Pertanyaan penting, apakah benar jika reklamasi dilakukan akan menimpa pipa kabel di bawah laut Jakarta, juga belum dijawab secara rinci,” kata dia.
Publik saat ini, kata dia, hanya disuguhkan informasi, reklamasi adalah satu-satunya solusi keterbatasan lahan di Jakarta, solusi mencegah banjir. Bahkan, disebutkan pula reklamasi itu juga merupakan solusi menyelamatkan kerusakan Pantai Utara Jakarta.
Menurut Fahira, dengan begitu publik seakan diarahkan untuk memahami reklamasi adalah sebuah keharusan dan tindakan yang mulia. Padahal, lanjut dia, kepentingan bisnis yang ada dalam proyek tersebut lebih besar.
“Banyak hal yang ditabrak. Seakan persoalan regulasi bukan jadi masalah bagi mereka. Praktik-praktik seperti ini harus kita lawan. Jakarta bukan punya mereka,” kata Fahira.