Republika.co.id – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris menuntut adanya keseriusan pemerintah menindak praktek prostitusi.
“Bagaimana prostitusi tidak tumbuh subur, hukuman maksimal cuma setahun dan denda hanya Rp 15 ribu untuk germo, padahal ada praktek perbudakan dan human trafficking di situ,” kata Fahira, Jumat (15/5).
Sementara untuk PSK dan pelanggan, belum ada hukum yang mengatur. Makanya pekerjaan sebagai mucikari, PSK di beberapa komunitas masyarakat menjadi hal yang biasa.
Menurutnya, dibutuhkan undang-undang yang tegas melarang praktik prostitusi di Indonesia. Pemerintah, DPR, DPD, tokoh agama dan masyarakat harus duduk bersama mencari solusi persoalan ini.
Fahira berharap, DPR bersedia memasukkan larangan dan sanksi hukum yang tegas terhadap praktik prostitusi terutama kepada para pelanggan dan mucikari, dalam revisi KUHP.
“Tekanan hukuman maksimal dan berefek jera kepada pelanggan dan mucikari menjadi penting, karena dua pihak inilah yang membuat praktik prostitusi menjadi subur.”
Dalam prostitusi itu ada praktik perbudakan dan perdagangan manusia yang sudah disepakati dunia internasional sebagai kejahatan luar biasa.
Dalam waktu dekat ini, DPD akan mengusulkan RUU baru menyangkut larangan prostitusi di mana di dalamnya diatur segala macam kejahatan seksual, perbudakan, dan perdagangan manusia.
“Saya rasa undang-undang larangan prostitusi sudah mendesak untuk dirumuskan dan dibahas. DPD akan segera mengusulkan RUU ini ke DPR,” ujarnya.