Jakarta, 21 Februari 2020—Salah satu cara paling efektif yang bisa ditempuh Pemerintah untuk menjelaskan begitu banyak pasal-pasal kontroversi dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka) adalah memfasilitasi berbagai diskusi sekaligus menjaring aspirasi, pendapat, dan opini serta memetakan pemahaman publik terhadap RUU Sapu Jagat ini.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, pasca dipublikasikan terdapat persilangan pendapat yang bertolak belakang antara pemerintah dan berbagai lapisan masyarakat terhadap isi RUU Cipta Kerja. Pemerintah sangat yakin bahwa RUU ini sangat pro dan menguntungkan pekerja atau buruh. Namun, banyak organisasi buruh, civil society, organisasi kemasyarakatan, sampai akademisi juga yakin RUU ini berpotensi besar memiskinkan buruh dan sangat pro atau menguntungkan pengusaha, pemilik modal atau investor. Tidak hanya soal lapangan kerja, kemudahan berinvestasi yang dijanjikan RUU ini diyakini banyak pihak berpotensi mengancam kelestarian lingkungan hidup akibat terdapat ketentuan-ketentuan terkait izin usaha yang mengabaikan lingkungan.
Fahira Idris yang juga Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini mengingatkan jangan sampai Pemerintah dan DPR mengulangi kegaduhan yang sama seperti revisi undang-undang KPK yang begitu banyak menghabiskan energi bangsa. Kalau pemerintah dan mungkin DPR hakulyakin RUU Cipta Kerja ini menguntungkan buruh dan pro lingkungan hidup harusnya mulai saat ini lebih intensif menggelar diskusi terbuka di berbagai wilayah Indonesia.
“Jika penolakan meluas seperti ini harusnya pemerintah memfasilitasi diskusi-diskusi terbuka omnibus law RUU Cipta Kerja. Undang pihak-pihak yang menolak. Buktikan dengan argumen yang rasional kalau memang pemerintah hakulyakin RUU ini pro pekerja dan pro lingkungan hidup. Patahkan argumen pihak-pihak yang meragukan RUU ini. Menutup dialog apalagi jika ada penghalangan diskusi soal RUU Cipta Kerja yang diinisiasi masyarakat akan semakin memperluas penolakan,” tukas Fahira Idris lewat keterangan tertulisnya (21/2).
Menurut Fahira, selain harus mengklarifikasi soal pasal-pasal yang dianggap merugikan pekerja/buruh dan kelestarian lingkungan, nuansa “otoriter” yang terkandung dalam RUU ini juga harus dapat dijelaskan secara rasional kepada masyarakat. Misalnya saja kontroversi pasal 170 yang menyebut bahwa pemerintah bisa mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP) dan pasal 166 di mana Presiden bisa membatalkan Perda melalui Peraturan Presiden, padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan yang bisa membatalkan perda hanya Mahkamah Agung.
“Bagaimana publik tidak semakin ragu, kalau memerintah sendiri kewalahan menjawab berbagai kontroversi dari RUU ini. Misalnya saja saat publik menyorot pasal 170, setelah tersudut, penjelasan yang keluar hanya ‘salah ketik’. Ini begitu menyederhanakan kekhawatiran publik. Belum lagi omongan para pembantu presiden yang berbeda satu sama lain terkait pasal-pasal kontroversi dalam RUU ini,” pungkas Fahira. #