Masih lekat dalam ingatan publik kasus pemerkosaan 13 santriwati oleh predator anak Herry Wirawan di Bandung yang sudah divonis hukuman mati, kini terkuak dugaan pencabulan sodomi 21 Anak di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Masih terjadinya kejahatan kekerasan seksual terhadap anak yang sudah dikategorikan kejahatan luar biasa ini harus dilawan dengan memberikan sanksi hukum maksimal atau seberat-beratnya kepada para predator anak. Di sisi lain yang juga tidak kalah penting adalah, negara harus memastikan hak-hak korban dan keluarganya terpenuhi.
Anggota DPD RI yang juga pemerhati anak Fahira Idris mengungkapkan, jika dilihat dari jumlah korban dan sebarannya, kasus dugaan pencabulan 21 anak di Batang ini sudah masuk kategori kejahatan luar biasa dan pelaku diduga kuat adalah predator anak. Sesuai Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, hukuman bagi predator anak harus maksimal atau paling berat. Bukan hanya hukuman pokok (pidana mati, hukuman seumur hidup atau hukuman di atas 15 tahun penjara) tetapi juga hukuman tambahan yaitu kebiri kimia yang memang ditujukan untuk para predator anak.
“Kenapa predator anak harus dijerat dengan pasal berlapis dan dihukum berat? Karena para predator anak ini tidak layak dan tidak boleh lagi ada di lingkungan masyarakat. Predator anak dan kejahatan yang dilakukannya berpotensi mengganggu kesehatan korban, baik fisik maupun psikis serta berdampak luas bagi korban, keluarga korban dan masyarakat. Tidak boleh ada ruang dan celah keringanan hukuman untuk predator-predator anak di Indonesia,” tegas Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (10/1).
Selain fokus memastikan pelaku dihukum berat, hal penting lainnya yang harus dikedepankan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, lanjut Fahira, adalah negara hadir memastikan hak-hak para korban dan keluarganya terpenuhi dan mendapat pendampingan sampai tuntas. Ini karena kejahatan seksual berdampak fisik dan psikologis terhadap anak, yang dapat terbawa hingga anak tersebut dewasa dan dapat mengganggu tumbuh kembang anak sehingga kondisi fisik dan psikologis korban harus dipulihkan agar bisa menata kembali masa depannya.
Bab V UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah mengatur dengan sangat jelas apa saja hak-hak korban, keluarga korban dan saksi yang harus dipenuhi dalam kasus kekerasan seksual. Hak utama korban yang dipenuhi adalah korban berhak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.
Dalam proses penanganan, salah satu hak korban yang sangat penting dipenuhi adalah hak atas layanan hukum antara lain adalah bantuan hukum, konsultasi hukum, pendampingan hukum dan hak atas penguatan psikologis, termasuk hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan,tindakan, dan perawatan medis. Sementara hak pelindungan, salah satu yang utama adalah hak mendapat pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan serta hak pelindungan atas kerahasiaan identitas.
“Anak-anak yang menjadi korban ini juga harus dipastikan hak pemulihannya mulai dari rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial termasuk di dalamnya rehabilitasi fisik, psikis, psikososial, dan mental spiritual,” ujar Fahira Idris. #