Indonesia, dengan wilayah laut yang luas dan sumber daya kelautan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan maritim global. Namun, hingga saat ini, pengelolaan sektor kemaritiman di Indonesia belum sepenuhnya maksimal sehingga berdampak pada ekonomi, sosial, dan lingkungan. Peringatan Hari Bahari/Maritim Nasional setiap 23 September, diharapkan menjadi momentum evaluasi pengelolaan sumber daya laut dan perikanan Indonesia.
Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, salah satu tantangan utama pengelolaan sumber daya laut dan perikanan adalah kerusakan ekosistem laut yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), pencemaran laut, dan degradasi terumbu karang. Padahal, ekosistem laut yang sehat merupakan prasyarat bagi keberlanjutan sektor perikanan dan jasa kelautan lainnya.
“Namun, sejauh ini upaya pemulihan ekosistem belum sepenuhnya optimal. Pengelolaan ekosistem laut harus diiringi dengan penguatan regulasi yang tegas dan pelaksanaan yang konsisten, serta melibatkan masyarakat pesisir dalam kegiatan pelestarian. Kendala infrastruktur, regulasi yang tumpang tindih, dan minimnya investasi menjadi penghambat dalam pengembangan sektor ini. Untuk itu, perlu peningkatan kerjasama antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta dalam membangun infrastruktur dan mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan di kawasan pesisir,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (23/9).
Tantangan lainnya, menurut Senator Jakarta ini adalah masih lemahnya koordinasi antara berbagai kementerian/lembaga dan tingkat kepatuhan terhadap aturan zonasi. Penataan ruang laut, termasuk rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), masih mengalami kendala dalam penyusunan dan implementasinya. Konflik kepentingan antar sektor, seperti antara sektor perikanan, energi, dan pariwisata, kerap menjadi hambatan dalam pengelolaan ruang laut yang efektif.
Begitu juga dengan produksi perikanan Indonesia cukup besar, tetapi nilai tambahnya masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah minimnya infrastruktur pengolahan pasca-panen, kurangnya standarisasi mutu, dan keterbatasan teknologi pengolahan. Pengembangan industri pengolahan hasil perikanan masih terkonsentrasi di wilayah tertentu, sehingga produk perikanan dari daerah-daerah terpencil sering kali sulit mendapatkan akses ke pasar yang lebih luas.
Untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah, lanjut Fahira Idris, penting untuk membangun sentra-sentra produksi perikanan yang berdaya saing di seluruh wilayah, terutama di provinsi-provinsi yang memiliki keunggulan komparatif seperti Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, Maluku, dan Papua. Komoditas utama yang perlu dikembangkan termasuk udang, tuna, rumput laut, rajungan, ikan nila, dan garam. Dengan fokus pada peningkatan mutu dan daya saing produk perikanan, Indonesia dapat meningkatkan posisinya di pasar global.
“Persoalan lain yang membuat pengelolaan sumber daya laut dan perikanan belum maksimal adalah pelaku usaha perikanan skala kecil, terutama nelayan tradisional, sering sekali menghadapi kendala dalam mengakses pembiayaan dan perlindungan usaha. Selain itu, pendidikan vokasi dan pelatihan berbasis kompetensi perlu ditingkatkan agar ke depan SDM kemaritiman Indonesia mampu bersaing di tingkat global,” pungkas Fahira Idris.#