Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris menilai kebijakan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta yang akan melarang mahasiswinya mengenakan cadar terus menjadi kontroversi hingga saat ini. Jika dibiarkan apalagi sampai terealisasi, dikhawatirkan larangan mahasiswi bercadar ini akan meluas tidak hanya ke kampus-kampus lain tetapi juga ke berbagai instansi.
“Saya khawatir jika larangan ini terealisasi akan meluas ke kampus-kampus lain. Jika sampai terjadi, saya khawatir melahirkan kegaduhan baru yang menguras energi kita. Di tahun politik ini kita hindarilah potensi-potensi kegaduhan. Saya berharap Rektorat UIN SUKA meninjau kembali kebijakan,” ujar Fahira dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (9/3).
Fahira mengungkapkan, sebagai negera muslim terbesar di dunia, Indonesia harusnya menjadi yang terdepan melepaskan satu persatu stigma dan prasangka yang mengikatkan ajaran dan simbol-simbol Islam dengan paham radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme yang ditiupkan negara-negara Barat.
Bagi Fahira, argumen yang mengaitkan pengenaan cadar dengan aliran radikal dan anti-Pancasila, bukan hanya lemah tetapi seakan menjadi pembenaran dari stigma yang dibentuk beberapa negara Barat terhadap simbol-simbol Islam selama ini. Karena bisa jadi ada orang yang busananya biasa-biasa saja, tetapi pahamnya radikal dan anti-Pancasila.
“Jadi argumen pelarangan cadar ini lemah. Sekali saya minta tinjau kembali kebijakan ini. Tanpa pelarangan cadar, saya yakin kampus-kampus Islam mampu menjadi pusat persemaian dan penyebaraan ajaran Islam yang moderat dan Islam yang rahmatan lil alamin,” jelas Senator Jakarta ini.
Sebelumnya, Fahira Idris menegaskan bahwa dirinya siap mengadvokasi jika ada mahasiswi bercadar di UIN SUKA yang dipecat dari kampusnya akibat kebijakan ini. Fahira juga membuat polling di akun media sosialnya yang menjaring pendapat netizen terkait pelarangan cadar di kampus dan hasilnya 89 persen peserta polling tidak setuju ada kampus yang melarang mahasiswinya bercadar. Republika