Saat ini DPD RI sedang menggarap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Digital yang kehadirannya diyakini bukan hanya berdampak besar bagi pelayanan publik, tetapi juga mampu menjadi akselerasi atau percepatan terciptanya ekosistem digital di Indonesia serta menjadikan berbagai program pembangunan lebih efektif dan efisien. Walau sudah masuk dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024, tetapi RUU Pemerintahan Digital mendesak untuk segera dibahas dan disahkan.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, selain bisa menjadi solusi banyak persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, RUU Pemerintahan Digital menjadi sebuah keniscayaan di tengah kemajuan digitalisasi dunia yang saat ini menjadi faktor pendorong utama kemajuan ekonomi dan pembangunan sebuah bangsa. Harus diakui, tingkat implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Indonesia, masih jauh tertinggal dengan banyak negara lain di dunia bahkan di Asia Tenggara. Pada tahun 2020, dari 193 negara, Indonesia berada pada peringkat 88 dalam pemeringkatan E-government Development Index (EGDI). Di kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia hanya berada di atas Myanmar, Timor Leste, Laos, dan Kamboja. Negara lain seperti Vietnam, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia, dan terlebih lagi Singapura skornya sudah berada jauh di atas Indonesia.
“Walau sudah ada progres, namun kita harus akui implementasi pemerintahan berbasis digital kita masih jauh tertinggal dari banyak negara di dunia bahkan di Asia Tenggara. Negara-negara yang sejak satu dekade lalu serius mempraktikkan pemerintahan berbasis digital misalnya Denmark, Korea Selatan, Austria dan Singapura kini sedang menuai hasil dari transformasi digital yang mereka lakukan. Pemerintahan berbasis digital yang mereka praktikkan mampu meretas berbagai persoalan baik soal infrastruktur digital, sumber daya manusia dan kelembagaan sehingga ekosistem digital tercipta, pelayanan publik semakin efektif dan efisien bahkan investasi dan ekonomi terdongkrak akibat ekosistem ekonomi digital,” ujar Fahira Idris di sela-sela uji sahih RUU Pemerintahan Digital, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta (23/6).
Menurut Fahira, kehadiran Undang-Undang Pemerintahan Digital akan mampu mengurai kompleksnya tantangan transformasi digital di Indonesia. Berbagai tantangan mulai dari infrastruktur teknologi terutama jaringan internet dan energi listrik yang belum merata, sumber daya manusia terutama masih lemahnya literasi digital dan talenta digital, digital leadership, perlindungan data, keberpihakan anggaran dan kerangka regulasi transformasi digital yang masih lemah hanya mampu diurai dengan regulasi setingkat undang-undang. Selain itu, rumitnya persoalan data yang selama ini menjadi persoalan serius karena berpengaruh terhadap efektivitas pembangunan nasional juga akan bisa diurai melalui Undang-Undang Pemerintahan Digital.
“Selama data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses dan dibagipakaikan antar Instansi Pusat dan Instansi daerah melalui pemenuhan standar data, metadata, interoperabilitas data, dan menggunakan kode referensi dan data induk atau yang sering kita sebut Satu Data Indonesia belum terealisasi, maka selama itu juga transformasi digital di Indonesia tidak akan pernah terwujud. Undang-Undang Pemerintah Digital ini hadir untuk meretas berbagai persoalan ini agar transformasi digital di Indonesia lebih cepat terealisasi. Artinya RUU ini bisa jadi solusi berbagai persoalan yang saat ini sedang dihadapi negeri ini ,” pungkas Fahira Idris.
Sebagai informasi, terdapat 11 ruang lingkup pengaturan pemerintahan digital yang diatur dalam RUU ini yaitu ekosistem digital, SPBE, masyarakat digital, ekonomi digital, transformasi digital;, infrastruktur digital, teknologi digital, data, perlindungan dan keamanan digital, kerja sama digital; dan kelembagaan. Uji sahih yang dilakukan DPD RI ini bertujuan untuk mendapat masukan dari berbagai stakeholder untuk penyempurnaan RUU ini termasuk dari sisi ruang lingkup pengaturannya. #