Rasa kemanusian kita benar-benar terusik menyaksikan begitu mudahnya nyawa melayang akibat miras oplosan yang dijual bebas. Selama sebulan terakhir ini, korban tewas akibat minuman keras (miras) oplosan secara nasional ada sekitar 112 orang. Mereka yang memproduksi dan menjual miras sehingga menewaskan banyak orang ini bukan hanya sebuah tindakan kriminal berat, tetapi juga sudah menginjak-nginjak nilai kemanusiaan rakyat Indonesia.
“Nilai-nilai ketuhanan dan kemanusian yang ada dalam Pancasila tidak membenarkan peristiwa-peristiwa seperti ini terjadi. Kejadian ini harus jadi yang terakhir dan tidak boleh terulang lagi. Jika ke depan masih ada ratusan orang tewas akibat miras artinya kita tidak menegakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di negeri ini,” ujar Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris, di sela-sela Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu (24/4).
Senator atau Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jakarta ini mengungkapkan, saat ini miras menjadi persoalan serius bangsa. Selain karena dampak kerusakannya yang begitu luar biasa, bangsa ini walau sudah 72 tahun merdeka belum mempunyai undang-undang larangan miras. Padahal di banyak negara, bahkan negara yang paling sekuler sekalipun mereka sudah mempunyai undang-undang yang melarang dan mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi miras.
“Ketiadaan regulasi miras setingkat undang-undang menjadi ironi besar bagi negeri ini. Walau sudah dibahas bertahun-tahun, undang-undang larangan minuman beralkohol tidak kunjung disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Sementara di lapangan, korban akibat miras terus berjatuhan bahkan banyak diantaranya adalah remaja,” tukas Ketua Gerakan Nasional Anti Miras ini.
Menurut Fahira, karena miras menjadi persoalan besar bangsa, maka harus dihadapi bersama-sama semua elemen bangsa mulai para pengambil kebijakan hingga elemen paling dasar yaitu keluarga. Sebuah bangsa bisa terlepas dari bahaya miras jika pemerintahnya, aparat penegak hukumnya, ulamanya dan pemuka masyarakatnya, guru dan para orang tua bersatu melawan miras.
“Namun, selama negara dalam hal ini Pemerintah dan Parlemen tidak kunjung menerbitkan undang-undang larangan miras, maka sekuat apapun perlawanan yang dilakukan pemuka agama dan masyarakat menolak miras akan sangat berat. Jadi point utamnya adalah political will Pemerintah dan DPR untuk melindungi bangsa ini dari miras lewat undang-undang,” pungkas Fahira.
#PressRelease (Kepualaun Seribu, 24 April 2018)